260 Hari

260 hari sudah menjalani sepi ini tanpamu. Berjalan di setapak yang dulu penuh canda tawa, kini hanya ada suara kaki melangkah. Kau memang sudah pergi atau bahkan sudah menetap menemui hati yang terkasih. Mengukir kisah baru sehabis berperang denganku. Bahagiamu kini sudah tak menjadi urusanku. Kau tertawa bukan lagi bahagiaku. Senyummu bukan lagi canduku. Senda guraumu membuat tawaku dipaksa. 

Siapa kini perempuan yang mengisi harimu? Pasti dia cantik. Secantik apapun dia, dia tetap terlihat cantik olehmu. Dia adalah perempuan yang beruntung bisa mengenalmu setelah aku. Dia adalah perempuan hebat yang bisa membuatmu begitu mencintainya. Aku pernah merasa cintamu satu-satunya, setelah aku sadar aku hanyalah nomor sekian dari semuanya. Mungkin sekarang, dialah satu-satunya cintamu. Jangan banyak menggoda nanti kau terlalu bingung siapa sebenarnya yang kau cinta.

Sekian lama aku menunggumu, sebentar juga cinta itu habis dimakan egoku. Ya, egoku yang terlalu memaksamu kau adalah milikku. Padahal aku hanya memiliki hatimu sebentar saja, setelah itu kau menyerah. Menyerah untuk mengabulkan egoku. Aku pun sama. Isi kepala kita memang sama, sama-sama tidak ingin mengalah, sama-sama tidak ingin merugikan diri sendiri, tanpa sadar keduanya tidak saling mengalah dan berujung berpisah. Klasik sekali. Berpisah hanya karena tidak ada yang mau mengalah. Hancur begitu saja.

Bagaimana hidupmu sekarang? Kulihat garis bibir itu selalu melengkung ke atas, bahkan seringkali terlihat gigimu yang masih putih juga karena pasta gigi yang kau tunjukkan malam itu, "Katanya pasta gigi ini bisa bikin gigi putih. Perokok juga bisa putih giginya pake ini." Begitu katamu malam itu. Kau begitu pandai mengukir senyum setiap orang. Kau bilang kau adalah penebar kebahagiaan. Aku setuju. Kau memang penebar kebahagiaan pada orang-orang, sehingga banyak yang bahagia saat bersamamu sampai terkadang mereka salah paham dan memiliki rasa satu denganmu.

Mungkin aku terlalu perasa karena menganggap hal itu sangat mengganggu, padahal berteman dengan lawan jenis adalah hal yang biasa. Namun yang tidak biasa saat salah satu dari mereka ada yang terbawa perasaan. Saat itu matanya berbicara begitu jelas padamu. Kau tidak sadar bahwa saat itulah mata hatiku terbuka bahwa ada yang lain sedang mencintaimu. Kenyamanan darimu membuatnya cinta. Saat itu juga mataku melihat perubahan dari sosokmu menjadi yang bukan aku kenali dahulu. Rasa sesak di dadaku begitu mematikan. Amarah itu tidak bisa kukendalikan. Aku cemburu.

Setelah hal itu tidak ada penyelesaian apa pun bahkan hanya ada pengabaian dari dua orang yang sudah seharusnya saling meninggalkan. Aku bertahan karenamu menahanku. Aku bertahan karenamu. Saat hal itu terjadi, aku dan kau memutuskan untuk tidak saling kembali. Bukan karena tidak bisa, tapi karena ego. Aku dan kau saling berpisah, namun pernah dalam satu kisah. 

Jangan pikir aku menulis ini karena rindu. Aku menulis ini karena terpikir bahwa kau masih juga menjadi pelajaran berharga dalam hidupku. Kau tidak mengajarkanku apa pun, tapi aku belajar bahwa kepergian bisa diikhlaskan karena memang sudah tidak ada lagi alasan untuk bertahan dan menahan. Aku belajar bahwa egoku tidak selalu benar. Kalau saja aku tahu egoku tidak benar, tidak akan ada perpisahan melainkan akan ada banyak hal yang tidak pernah kuduga akan terjadi. Ya, kau akan bermain di belakang tanpa pernah aku ketahui.

Komentar