Secangkir teh menemani pagi yang cerah dan aku yang suntuk. Pukul 7 pagi dan aku masih mengenakan kaus putih polos dan celana boxer yang kupakai tidur semalam. Aku mengecek ponsel, tidak ada pesan. Namun, ada sesuatu yang menarik perhatianku, yaitu pesan Lynn. Perempuan itu masih sama seperti awal kami kenal, tidak ada yang berubah. Hanya saja dia sedikit posesif dan hal itu sangat menggangguu. Dia terlalu posesif sehingga aku harus terkena pikiran negatifnya terus menerus hingga aku jenuh. Lynn menyuruhku bertemu di ruang yang kami sebut "ruang yang hanya kita berdua yang tahu". Aku jelaskan pun tidak akan ada yang mengerti. Aku bergegas mandi dan segera mengenakan pakaian kasual karena ini hari libur, jadi aku ingin santai. Satu bulan sudah aku tidak menemui perempuan itu, bahkan membalas pesannya hanya sesekali karena aku sangat sibuk dan sedang tidak ingin diganggu oleh siapa pun.
Aku masuk ke ruang itu, dia sedang duduk. Lynn menoleh ke arahku dan aku langsung menghampirinya. Tuhan, aku rindu perempuan ini. Begitu kata hatiku. Namun, aku enggan untuk mengatakannya pada Lynn. Aku bukan gengsi, tapi rindu tidak harus dikatakan begitu saja, kan? Lagi pula, aku bukan tipe orang yang romantis, jadi tidak perlu mengatakan demikian. Aku duduk menghadap Lynn, matanya terlihat sembab dan tidak bersemangat.
"Kamu darimana saja? Satu bulan ini kamu gak ada kabar, aku tunggu kamu setiap hari, tapi gak juga ngabarin aku. Bales pesan yang hanya hitungan detik saja kamu enggan".
Aku menghela napas kasar. "Aku sibuk". Hanya itu yang bisa aku katakan.
Dia mengangguk. Tepat pada hari ini, dua tahun sudah aku dengan Lynn. Aku tidak mungkin lupa, aku sangat ingat hari ini. Entah mengapa melihatnya seperti ini aku ingin memeluknya, namun enggan. Aku malu.
"Ada apa denganmu? Mengapa kamu diam aja daritadi?" Aku memecahkan kesunyian dengan menanyakan hal itu.
"Kamu yang mendiamkan aku, Ted. Kamu sadar gak kalo kamu berubah? Kamu udah gak butuh aku? Kamu gak menghargai aku sebagaimana mestinya. Kamu terlalu sibuk sama duniamu, kamu gak pernah hiraukan pesanku. Kamu... Kamu udah berpaling dari aku, Ted."
Mendengar kalimat terakhirnya terasa menohok dalam hatiku. Aku tidak berpaling sama sekali, aku memang bosan dan jenuh dengan keadaan antara aku dan Lynn, tapi bukan berarti aku berpaling. "Maksud kamu? Kenapa kamu selalu merasa seperti itu? Aku butuh kamu sebagai tempat untuk cerita selama ini".
Lynn mengangkat kepalanya ke atas, matanya membulat seperti orang yang ingin marah, namun dia menahan amarahnya dan kembali diam. Ada yang salah dengan perkataanku? Memang seperti itu keadaannya. Aku nyaman dengan dia, nyaman bercerita tentang hal kecil juga tentang mimpi-mimpiku. Aku bingung, sekarang dia menangis, namun tidak bersuara, hanya sesunggukkannya saja yang terlihat bahunya naik dan turun. Ya Tuhan, aku bingung. Mengapa perempuan sulit untuk mengerti.
Sesungguhnya aku sudah tidak tahan dengan keadaan yang mendesak seperti ini. Dituduh yang tidak-tidak dan juga aku benar-benar sedang dalam keadaan tertekan, lalu Lynn juga menekanku seperti ini. Aku berdiri dari tempat dudukku karena kupikir dia sedang tidak mood untuk berbicara dan aku juga terbawa mood yang tidak baik. Aku berdiri dan melihatnya yang masih menunduk, menangis.
"Lynn, aku pergi. Kalau kamu ingin cerita, cerita saja denganku, aku dengan senang hati mendengarnya. Terima kasih selama ini sudah bersedia untuk menjadi teman ceritaku. Aku akan terus kejar mimpi-mimpiku. Aku pikir kita masih bisa berteman, Lynn". Lynn tidak menjawab omonganku, aku menghmpiri pintu dan membukanya, lalu pergi.
Aku merasa hancur dengan ulahku sendiri. Seharusnya aku tidak bodoh dengan mengatakan hal itu pada Lynn. Dia sangat kecewa, aku juga kecewa karena seharusnya dia mengerti keadaanku yang sedang tertekan, bukan justru dia menekanku seperti itu. Aku pikir memaksakan kehendak sendiri pada orang lain bukan hal yang bijak dan tidak wajar karena tidak semua orang sepemikiran dengan kita. Aku merasa menyakitinya, namun kupikir minta maaf juga tidak mengembalikan keadaan dan dia pun tidak akan percaya lagi dengan omonganku. Percuma.
Selamat tinggal, Lynn. Mungkin aku sering menyakitimu, bahkan bukan mungkin. Inilah caraku untuk tidak lagi menyakitimu dan tidak lagi merasa kamu memaksakan kehendakmu untukku. Aku ingin aku seperti apa adanya aku untukmu. Caraku menyayangimu memang sedikit berbeda, namun mungkin kamu tidak suka dengan caraku.
"Kamu darimana saja? Satu bulan ini kamu gak ada kabar, aku tunggu kamu setiap hari, tapi gak juga ngabarin aku. Bales pesan yang hanya hitungan detik saja kamu enggan".
Aku menghela napas kasar. "Aku sibuk". Hanya itu yang bisa aku katakan.
Dia mengangguk. Tepat pada hari ini, dua tahun sudah aku dengan Lynn. Aku tidak mungkin lupa, aku sangat ingat hari ini. Entah mengapa melihatnya seperti ini aku ingin memeluknya, namun enggan. Aku malu.
"Ada apa denganmu? Mengapa kamu diam aja daritadi?" Aku memecahkan kesunyian dengan menanyakan hal itu.
"Kamu yang mendiamkan aku, Ted. Kamu sadar gak kalo kamu berubah? Kamu udah gak butuh aku? Kamu gak menghargai aku sebagaimana mestinya. Kamu terlalu sibuk sama duniamu, kamu gak pernah hiraukan pesanku. Kamu... Kamu udah berpaling dari aku, Ted."
Mendengar kalimat terakhirnya terasa menohok dalam hatiku. Aku tidak berpaling sama sekali, aku memang bosan dan jenuh dengan keadaan antara aku dan Lynn, tapi bukan berarti aku berpaling. "Maksud kamu? Kenapa kamu selalu merasa seperti itu? Aku butuh kamu sebagai tempat untuk cerita selama ini".
Lynn mengangkat kepalanya ke atas, matanya membulat seperti orang yang ingin marah, namun dia menahan amarahnya dan kembali diam. Ada yang salah dengan perkataanku? Memang seperti itu keadaannya. Aku nyaman dengan dia, nyaman bercerita tentang hal kecil juga tentang mimpi-mimpiku. Aku bingung, sekarang dia menangis, namun tidak bersuara, hanya sesunggukkannya saja yang terlihat bahunya naik dan turun. Ya Tuhan, aku bingung. Mengapa perempuan sulit untuk mengerti.
Sesungguhnya aku sudah tidak tahan dengan keadaan yang mendesak seperti ini. Dituduh yang tidak-tidak dan juga aku benar-benar sedang dalam keadaan tertekan, lalu Lynn juga menekanku seperti ini. Aku berdiri dari tempat dudukku karena kupikir dia sedang tidak mood untuk berbicara dan aku juga terbawa mood yang tidak baik. Aku berdiri dan melihatnya yang masih menunduk, menangis.
"Lynn, aku pergi. Kalau kamu ingin cerita, cerita saja denganku, aku dengan senang hati mendengarnya. Terima kasih selama ini sudah bersedia untuk menjadi teman ceritaku. Aku akan terus kejar mimpi-mimpiku. Aku pikir kita masih bisa berteman, Lynn". Lynn tidak menjawab omonganku, aku menghmpiri pintu dan membukanya, lalu pergi.
Aku merasa hancur dengan ulahku sendiri. Seharusnya aku tidak bodoh dengan mengatakan hal itu pada Lynn. Dia sangat kecewa, aku juga kecewa karena seharusnya dia mengerti keadaanku yang sedang tertekan, bukan justru dia menekanku seperti itu. Aku pikir memaksakan kehendak sendiri pada orang lain bukan hal yang bijak dan tidak wajar karena tidak semua orang sepemikiran dengan kita. Aku merasa menyakitinya, namun kupikir minta maaf juga tidak mengembalikan keadaan dan dia pun tidak akan percaya lagi dengan omonganku. Percuma.
Selamat tinggal, Lynn. Mungkin aku sering menyakitimu, bahkan bukan mungkin. Inilah caraku untuk tidak lagi menyakitimu dan tidak lagi merasa kamu memaksakan kehendakmu untukku. Aku ingin aku seperti apa adanya aku untukmu. Caraku menyayangimu memang sedikit berbeda, namun mungkin kamu tidak suka dengan caraku.
Komentar
Posting Komentar