Tiga bulan sudah, Al menjauhkan diri dari Ren yang sudah jelas-jelas menolak perasaannya. Dia tahu, bukan Ren tidak peduli, akan tetapi Ren sedang menjaga hati seseorang yang memang sudah lebih dulu datang daripada dirinya. Al hanya bisa diam dan tidak merespon apa pun saat melihat beranda Instagram yang menampilkan foto Ren bersama seorang lelaki yang mencintainya. Ada rasa yang sesak dalam dadanya, namun dia juga harus menyembuhkannya sendiri. Dia tahu, tidak akan mungkin Ren meninggalkan lelaki itu hanya untuk dirinya. Baginya, melihat Ren melalui foto di beranda Instagram atau sosial media lainnya, dia sudah senang, tanpa harus mengganggu Ren.
Ditemani secangkir kopi hitam tanpa gula yang sudah pasti pahit. Ya, sepahit kenyataan yang harus dia terima. Melihat perempuan yang dia kagumi, bersama orang yang perempuan itu cintai. Sedangkan Al, tidak mendapatkan apa pun. Pernah sesekali dia mencoba mengirim pesan melalui sebuah aplikasi kepada Ren, namun tidak pernah dijawabnya sepenuh hati, hanya satu kata saja. Menurut Al, itu sudah lebih dari cukup, setidaknya dia merespon. Namun, terakhir kali Al mengirim pesan kepada Ren, Ren tidak membalasnya sama sekali. Pada akhirnya, Al memutuskan untuk mundur. Sebenarnya, dia sudah mundur sejak kejadian tiga bulan lalu yang membuat Ren kecewa padanya, namun dia tetap berusaha sebaik-baiknya untuk Ren, setidaknya saat bercakap-cakap dengan dirinya. Ternyata, Ren juga sudah mulai terbiasa dengannya, tertawa dan berbicara bersama saat berkumpul dengan teman-teman lainnya. Al sudah cukup merasa lega melihat Ren sudah menjadi biasa lagi, tidak ada beban lagi untuknya.
Siang ini ada pertemuan untuk membahas proyek selanjutnya. Al berpikir bahwa Ren tidak akan datang pada pertemuan mereka kali ini, namun ternyata Ren datang dengan kekasihnya. Ya, kekasihnya. Pedang semu itu menusuk hati Al, sakit. Al berusaha menyembunyikan kesakitan itu dengan berjabat tangan dan berkenalan, Rey namanya. Setelah mereka berjabat tangan, Al duduk di depan Ren dan Rey duduk di samping Ren, hanya mereka bertiga. Suasana semakin lama semakin canggung, untuk Al saja. Dirinya harus berhadapan dengan dua orang yang sangat ingin dia jauhi. Ren memulai pembicaraan, "Siapa aja yang mau dateng, Al?" Al yang tadinya menunduk, langsung melihat ke arah sumber suara di depannya. Dia tidak langsung menjawab, selang satu dua detik baru dia menjawab, "Banyak kok, cuman ya gitu pada ngaret mungkin." Lawan bicaranya hanya mengangguk. Sesekali Al melihat mereka berdua bercanda, tertawa. Andai saja tawamu itu bersamaku, Ren. Tiba-tiba datanglah Fan, yang membuat Al tersadar dengan kata-katanya. "Al, lo bengong ya? Gue dateng gak disambut sama sekali." Al langsung menjabat tangan Fan. Fan duduk di samping Al, di depannya Rey. Rey sudah lumayan akrab dengan teman-teman Ren, namun dia hanya sedikit tidak srek dengan keberadaan Al. Ren bangun dari tempat duduknya, "Fan, Al, gue cabut bentar ya, mau ada yang dicari dulu. Nanti kalo udah ngumpul chat gue aja. Okay?" Al dan Fan hanya mengangguk saja. Ren dan Rey berlalu. Mata Al masih melihat ke arah mereka berdua dan disadarkan oleh Fan, "Udah Al, masih aja ya lo tuh sama si Ren. Udah jelas-jelas dia gak mau sama lo. Harusnya lo bersyukur dia masih mau berteman sama lo, kenapa lo masih nuntut lebih buat dia punya perasaan sama lo? Inget ya, pokoknya diantara kita semua ada cinlok-cinlok gue gak akan segan-segan mengakhiri itu semua meskipun cuma sekedar deket-deket aja." Al tidak banyak bicara, dia hanya menjawab, "Terlalu sulit, Fan. Gue udah coba, cuma ya gitu susah. Emang sih kita gak pernah ketemu lagi, tapi sekalinya ketemu perasaan gue balik lagi." Fan hanya menggeleng sambil berkata, "Itu semua sementara, gue yakin. Udahlah gak usah buang-buang waktu buat orang yang gak pernah sadar sama perasaan lo, bukan dia gak peka, tapi udah jelas dia gak mau." Al menyeruput kopi hitamnya, "Iya Fan, gue coba.
Al merasa bahwa Rey tidak nyaman diantara mereka. Sorot matanya sungguh mematikan saat melihat ke arah Al. Namun, Al berusaha menatapnya dengan tatapan biasa saja, tidak memberi kesan dendam. Tidak, Al tidak dendam, hanya sedikit terbakar cemburu. Satu dua orang berdatangan, sampai sepuluh orang. Al segera mengirim pesan kepada Ren dan hanya dibaca oleh sang penerima. Tidak lagi masalah untuk Al. Lima menit kemudian mereka datang. Air muka Rey terasa lebih damai untuk dilihat Al. Sedikit lebih tenang dan aman.
Tiga jam berlalu, satu persatu dari mereka mulai meninggalkan tempat pertemuan setelah sesi foto selesai. Rey pamit untuk ke toilet, meninggalkan Al, Ren, dan Vir. "Ren, kenapa lo gak pernah bales chat gue?" Al membuka percakapan yang menurut Ren tidak perlu dijawab. Namun dia menjawabnya, "Lo pasti tau jawabannya Al, gue udah males bahas hal ini. Cukup." Ren mencoba mengakhiri percakapan diantara mereka, namun Al masih saja membahasnya. Akhirnya Ren diam. "Lo takut Rey marah? Kalian udah sejauh apa sih sampe harus ngejauhin lo dari temen-temen lo? Dia aja bahkan belum jadi suami lo, Ren." Belum sempat Ren menjawab, ternyata Rey sudah berada di sampingnya masih dalam posisi berdiri. Al sempat panik, namun berusaha tenang. Rey mendengar semuanya, dia menjawab "Gue gak pernah melarang Ren berteman dengan siapa pun termasuk lo. Bahkan terkadang dia bilang ada chat dari lo, dan gue selalu bilang untuk jawab, tapi dia gak mau. Lo gak bisa menghakimi gue melarang dia berteman dengan siapa pun, kalo gue melarang pasti dia gak akan di sini sekarang. Lo juga harus bisa menghargai hak dia untuk bales atau nggak chat lo. Coba belajar jadi cowok yang gak baperan kalo chatnya gak dibales. Gue juga minta, hargai dia sebagai teman. Dia udah berusaha buat berteman sama lo dan menghargai perasaan lo." Al hanya diam, begitu juga Vir, dia tidak mengerti bahkan pura-pura tidak mengerti dengan keadaan barusan.
Rey memegang tangan Ren dan mengajaknya pulang. Sebelum meninggalkan tempat pertemuan mereka, Rey mengatakan, "Jangan salahkan gue Al kalo setelah ini lo gak akan bisa ngirim chat bahkan ketemu sama Ren lagi, itu udah jadi risiko lo karena udah terlalu ikut campur sama hubungan gue sama Ren," Ren hanya bisa diam dengan keadaan itu, dia bahkan baru sekali ini melihat Rey semarah itu.
Al hanya diam membeku. Selamat tinggal, Ren. Rutuknya dalam hati.
Tiga jam berlalu, satu persatu dari mereka mulai meninggalkan tempat pertemuan setelah sesi foto selesai. Rey pamit untuk ke toilet, meninggalkan Al, Ren, dan Vir. "Ren, kenapa lo gak pernah bales chat gue?" Al membuka percakapan yang menurut Ren tidak perlu dijawab. Namun dia menjawabnya, "Lo pasti tau jawabannya Al, gue udah males bahas hal ini. Cukup." Ren mencoba mengakhiri percakapan diantara mereka, namun Al masih saja membahasnya. Akhirnya Ren diam. "Lo takut Rey marah? Kalian udah sejauh apa sih sampe harus ngejauhin lo dari temen-temen lo? Dia aja bahkan belum jadi suami lo, Ren." Belum sempat Ren menjawab, ternyata Rey sudah berada di sampingnya masih dalam posisi berdiri. Al sempat panik, namun berusaha tenang. Rey mendengar semuanya, dia menjawab "Gue gak pernah melarang Ren berteman dengan siapa pun termasuk lo. Bahkan terkadang dia bilang ada chat dari lo, dan gue selalu bilang untuk jawab, tapi dia gak mau. Lo gak bisa menghakimi gue melarang dia berteman dengan siapa pun, kalo gue melarang pasti dia gak akan di sini sekarang. Lo juga harus bisa menghargai hak dia untuk bales atau nggak chat lo. Coba belajar jadi cowok yang gak baperan kalo chatnya gak dibales. Gue juga minta, hargai dia sebagai teman. Dia udah berusaha buat berteman sama lo dan menghargai perasaan lo." Al hanya diam, begitu juga Vir, dia tidak mengerti bahkan pura-pura tidak mengerti dengan keadaan barusan.
Rey memegang tangan Ren dan mengajaknya pulang. Sebelum meninggalkan tempat pertemuan mereka, Rey mengatakan, "Jangan salahkan gue Al kalo setelah ini lo gak akan bisa ngirim chat bahkan ketemu sama Ren lagi, itu udah jadi risiko lo karena udah terlalu ikut campur sama hubungan gue sama Ren," Ren hanya bisa diam dengan keadaan itu, dia bahkan baru sekali ini melihat Rey semarah itu.
Al hanya diam membeku. Selamat tinggal, Ren. Rutuknya dalam hati.
Kerennnnn ��
BalasHapus