Ditemani secangkir teh hangat dan suasana pagi yang sejuk. Mataku terasa lelah karena begadang dan sepanjang hari ada kegiatan. Tak lupa juga makanan dan cemilan terus membanjiri. Padahal aku tidak suka makan, tapi lingkungan memaksaku untuk terus makan. Aku tidak menolaknya. Tiga hari sudah hubunganku dan Rey tida baik-baik saja, tetapi keduanya menampik dengan berusaha baik-baik saja. Seperti itu tidak baik, seharusnya hal ini menjadi masalah yang harus diselesaikan segera. Namun, aku dan Rey masih sama-sama sibuk. Aku juga tidak ingin menambah bebannya dengan menuntut kehadiran Rey setiap waktu seperti dulu. Rey juga bilang kegiatannya sangat padat. Aku hanya bisa memaklumi karena keadaan kami pun jauh dan sama-sama sibuk, jadi komunikasi kami seperlunya saja.
Menjadi primitif, itulah aku. Dengan keadaan signal yang tidak baik. Aku lebih jarang memberi kabar Rey. Aku selalu bilang untuk sabar menunggu balasan pesannya karena keadaan signal yang sangat terbatas. Dia mengerti, karena itu juga kesempatannya untuk fokus dengan urusannya. Rey tidak egois, tapi dia ambisius. Dia akan melakukan segala cara untuk mendapatkan hal yang dia inginkan, sekaligus mempertaruhkan waktunya untukku. Ponselku berdering ditengah malam, telepon dari Rey mengganggu tidurku. "Ya Rey?" Aku menjawabnya karena dia memanggil namaku. "Kamu belum tidur?" basi Rey, rutukku. "Belum, kalo aku udah tidur aku gak mungkin jawab teleponmu." Dia diam. Semenit, dua menit berlalu kami masih bergeming. "Rey, kalo gak ada yang dibicarakan lagi tutup saja teleponnya, ini cuma membuang waktumu. Kamu harus bangun pagi kan untuk urusanmu itu? Aku mudah saja, kalo besok aku beruntung aku akan cepat membalas pesanmu meskipun besok kamu tidak akan mengabariku seharian." Rey merasa aku marah, "Jangan ditutup dulu. Aku kangen." Hatiku sesak, air hangat dari mataku turun. Aku tidak yakin Rey betul-betul merindukanku. "Jangan ngaco, sudah malam, kamu pasti mengantuk. Seharian kamu diluar, seharian kamu sibuk. Lebih baik tidur Rey." Dia diam, "Ren, kamu mau dengar aku?" Aku hanya menjawab 'iya'. Dia melanjutkan, "Bukan maksudku melupakanmu, bukan maksudku gak ada waktu buat kamu. Aku tau kamu pasti anggap aku berubah, anggap aku udah gak sayang kamu, gak kangen kamu, ya kan? Maaf kalo aku sok tahu, tapi aku rasain itu. Ren, jujur sama aku apa yang kamu rasain?"
Keesokan harinya, pagi ini kami tidak ada kegiatan, kami hanya sibuk disiang hari. Saat aku duduk di teras depan rumah kami, Al keluar dan bicara, "Lo semalem ke teras ya? Ngapain?" Aku heran dengan orang ini, selalu tahu apa yang aku lakukan. "Bukan urusan lo" jawabku ketus. "Kalo gue ada rasa sama lo, masih juga bukan urusan lo?" Aku diam. "Jawab Ren" nada bicaranya sedikit meninggi. "Gue harus apa?" Dia diam. Beberapa menit kemudian dia buka suara, "Lo gak harus lakuin apa-apa, Ren. Gue udah tahu jawabannya. Gue gak akan pernah digubris sama lo, sekalipun ini menyangkut perasaan gue ke lo." Emosiku mulai meninggi, "Jangan pernah terkesan seperti gue nyakitin lo, Al. Gue gak pernah memulai apapun atau mengakhiri apapun. Lo tau ada hati yang harus gue jaga, dan hati gue yang harus gue jaga untuk seseorang. Dan gue bukan orang yang bisa buka hati buat orang lain kalo gue udah menjaga satu. Itu hak lo buat punya perasaan, tapi gue juga punya hak buat punya rasa sama orang lain. Gue pikir kita bisa saling menghargai pilihan masing-masing." Aku masuk ke dalam sambil menenangkan emosi yang sedang membara dalam dadaku. Sesak.
Aku menghampiri Gon karena kurasa aku harus mengatakan hal ini, "Menurut lo gue salah gak bersikap kayak gini?" Dengan santainya Gon menghembuskan asap rokok di depanku. "Gue udah bilang, kalo di depan gue jangan ngerokok" dia memancing emosiku dan lagi-lagi aku marah-marah. "Iya iya, lo bawel amat sih". Dia masih bermain-main dengan rokoknya, "Jawab gue atau gue patahin rokok lo!" Akhirnya dia mematikan rokoknya, "Bawel! Iya nih gue jawab ya, menurut gue yang lo lakuin tuh ya gak salah lah. Lo kan udah ada si Rey. Ya, gue tau lah lo juga bakalan setia sama si Rey galauan lo itu. Ya jangan sampe juga lo bikin baper si Al. Biar dia berenti sendiri dengan lo bersikap kayak gini." Semua orang yang kuceritakan hal ini tanggapannya sama. Bersikap baik terkadang menimbulkan kesalahpahaman yang berkepanjangan. Aku sangat bisa berteman dengan Al, tapi tidak tahu dengannya.
Malam sebelum kejadian ini, aku menjawab pertanyaan Rey dengan suara bergetar, ya aku menangis. "Banyak yang aku rasain ke kamu. Gak cukup dalam satu malam Rey." Dia menjawab, "Seribu malam pun aku dengar asal selesai masalah kita." Aku ingin tertawa, tapi enggan. Aku tahu Rey tidak benar-benar melucu, tapi hanya membuatku cair dan tidak emosi. "Baiklah, awalnya mungkin aku kaget Rey dengan keadaan seperti ini. Jauh dari kamu, kabarpun tidak setiap waktu. Klasik ya aku hanya seperti itu kesepiannya tidak karuan. Aku kehilanganmu yang dulu Rey. Yang mau dengar keluh kesahku, yang bisa buat aku lupa jenuhku, sebalku, badmood-ku. Tapi aku mencoba mengerti, karena kamu punya hal yang memang baru saja kau dapatkan selama hidupmu. Aku sangat bangga soal itu, tapi kamu juga mempertaruhkan semuanya. Kamu hampir kehilanganku yang sudah lelah karena merasa bertahan sendirian". Rey bicara, "Sudah?" Aku menjawab 'iya'. Dia bicara dengan lembut yang kurasa dia pun menahan emosi yang ada dengan susah payah, "Aku gak membela diri, aku cukup paham apa yang kamu rasain. Disini pun posisi aku mau banget komunikasi terus sama kamu, tapi keadaannya agak tidak mungkin. Aku belum bisa memprioritaskan kamu, jujur. Banyak hal yang harus kukejar, termasuk mimpiku. Kamu tau keadaanku seperti apa, aku harap kamu paham bukan maklum. Sekarang yang aku bisa cuma telepon kamu, alhamdulillah signal kamu lagi lancar jadi gak putus telepon kita. Aku percaya kamu, kamu juga harus percaya sama aku. Aku gak bilang itu mudah, semua pasti sulit awalnya, tapi aku yakin kita bisa. Kalo ada apa-apa kamu jujur ke aku, biar cepet selesai masalahnya, jangan dipendam sendiri. Aku takut kamu gak bisa tidur terus karena kamu pemikir. Sekarang udah aku jelasin semuanya. Kamu tidur ya." Aku mengucapkan selamat tidur untuknya, dan menutup teleponnya.
Aku tenang. Aku memilih Rey. Semoga yang kupilih adalah pilihan yang tepat.
Luvvv
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusTadi typo wkwkwk 😂
BalasHapusSedih sendiri masa 😢😠ngena postingannya ama akuðŸ˜
BalasHapus*ini komen yg bener td typo✌