Tidak ada hal yang perlu kuceritakan tentang perasaanku saat ini. Aku menunggumu yang tidak ada kabar. Entah kemana hilangnya, aku tidak tahu. Pesanku kau abaikan begitu saja. Aku menunggu, kamu tidak tahu. Biarlah kusimpan sendiri piluku. Tiba-tiba ponselku berdering, panggilan masuk atas namamu. Aku bicara lebih dulu, "hallo?" kamu menjawab dengan suara seperti orang yang baru saja bangun tidur, "kamu belum tidur?" aku menahan amarahku agar tetap tenang berbicara denganmu, "belum mengantuk" kamu menarik napas, "maaf aku ketiduran, kamu pasti nunggu ya?" Mataku memanas dan rasanya ingin mengeluarkan air bening itu melalui sisi kanan dan kiri mataku. Tapi kutahan, "iya aku tahu".
Kami saling diam, tidak ada yang berbicara diantara aku dan kamu. Beberapa saat kemudian kamu bicara lagi, "sudah larut malam, kamu tidak juga mengantuk? Sedang mengerjakan sesuatu?" Aku menunggumu! Racau hatiku seakan ingin memakimu. Lagi-lagi aku menahan diri, "tidak mengerjakan apapun". Kamu diam lagi, aku pun sama. Aku frustasi, entah kamu sadar atau tidak aku menunggumu, kurasa tidak. "Ya sudah, aku mengantuk. Aku tidur duluan, kamu jangan begadang" nadaku datar, kamu hanya menjawab, "Selamat malam". Kututup telponku dengan amarah yang sedaritadi kutahan. Bantalku menjadi saksi bisu semalam air mata yang kutahan jatuh juga.
Esoknya, tak ada semangat dalam diriku, entahlah. Aku masih menghadapi keadaan yang sama, tidak ada kabarmu lagi. Aku mencoba menepis hal itu dengan berbincang dengan teman-temanku. Semua seperti sunyi karena hatiku tidak disitu, tapi di lain tempat. Aku memilih untuk menjauh dari mereka, karena hatiku sangat kacau seperti anak-anak yang balon hijaunya pecah, bahkan lebih dari itu. Ponselku seperti benda yang benar-benar mati, tidak ada kehidupan.
Aku memutuskan untuk pulang karena tidak ada hal yang harus kutunggu, dan aku membutuhkan istirahat. Hati ini sangat hampa, ingin rasanya aku memaki semua orang. Kudengar Ibu mengetuk pintu kamarku dengan lembut dan mengatakan, "Makan dulu yuk, dari pulang tadi kamu belum makan". Aku hanya menjawab, "Nanti saja, kalau aku lapar aku pasti makan". Ibuku tahu kalau aku menjawab seperti itu, Ibu akan pergi. Masih termenung di tengah kasurku, entah apa yang kupikirkan. Ponselku berdering, namamu muncul. Aku mengangkat telpon dan kamu bicara duluan, "Bagaimana harimu? Menyenangkan?" Aku ingin marah, namun enggan mencari masalah. "Baik-baik saja". Kamu mulai bicara lagi, "Daritadi aku menunggumu di kantin, kirain aku kamu mau traktir tapi ternyata gak ada kamu".
Itulah kamu, tidak pernah merasa berdosa atau bersalah sekalipun, padahal aku yang perempuan dan seharusnya aku selalu benar. "Tidak ada yang spesial hari ini." Jawabku ketus. Kamu tahu aku marah. Suaramu sedikit melembut, "Iya maaf, aku tidak mengabarimu sejak tadi, bukan maksudku mengacaukan hari spesialmu ini. Aku hanya sedang sibuk". Sibuk dengan urusanmu sendiri, bukan begitu? Tanyaku dalam hati. "Kok kamu diem sih? Jawab dong, kalau gak mau jawab aku yang jawab". Mengapa ada makhluk sepertimu di dunia ini. "Aku males ngomong". Kamu menjawab, "Kamu sariawan? Nanti aku beliin obat deh, suka minum obat apa kalo sariawan?" Itulah kamu, pembicaraan yang kurang penting jadi bahan pembicaraan. Aku suka itu, jadi tidak akan pernah bosan untuk berbicara satu sama lain. Mulai dari hal kecil.
"Aku tidak suka minum obat", lalu kamu menjawab, "Ya iyalah, kamu kan sukanya sama aku". Entah makhluk apa yang merasukimu. Aku diam tak bergeming. Kamu bicara lagi, "Sudah sini turun dulu, keluar dari kamarmu. Kata Ibu kamu, kamu belum makan". Mataku terbelalak, tentu kamu tidak tahu. Aku terkejut karena ternyata kamu sudah dirumahku tanpa mengabari.
Aku langsung bergegas beranjak dari kasur, berlari kecil ke pintu, lalu membukanya dan bergegas menuruni tangga. Ada kamu, ya di sofa empuk itu, sendirian dengan secangkir teh hangat yang dibuat Ibuku, masih penuh, tentu kamu belum meminumnya, dan menunggu dingin. Aku membuka pembicaraan, "Mengapa tidak mengabari dulu?" Kamu melihat ke arahku dan tersenyum, "Kalau aku mengabari dulu berarti bukan kejutan namanya" katamu yang sumringah. "Apa tujuanmu kesini? Katanya kamu sibuk" kataku dengan sedikit ketus. Sebelum kamu menjawab, kamu mengambil sebuah kotak, entah apa isinya aku pun tidak tahu. Kotak itu berukuran sedang bersampul merah dengan pita emas, seperti sebuah kado. Kado? Ternyata kamu ingat hari ini. Tapi aku menepis pikiranku akan hal itu, terlalu percaya diri aku ini.
"Pasti kamu berpikir aku gak ingat hari ini kan? Karena aku sibuk seharian, bahkan semalaman." Aku diam tak bergeming. Kamu bertanya, "Kamu gak nanya aku sibuk ngapain gitu?" Aku tahu, kamu mulai mengajak bercanda. "Ya sudah aku tanya, emang kamu sibuk apa?" Kamu menatapku terlebih dahulu, "Aku menyiapkan ini untukmu". Aku diam, bingung. "Sampe segitunya?" Kamu menjawab, "Iya lah. Kamu gak kepo itu isinya apa? Eh tapi jangan sekarang bukanya, sekarang kamu makan dulu. Habis kamu makan, aku pulang. Nah, kalau aku pulang, baru deh kamu buka kadonya". Aku menurut saja.
Beberapa jam berlalu, sungguh hatiku penasaran. Aku membukanya perlahan. Kulihat sebuah botol berisi sepucuk surat dan sebuah kotak lagi. Kutebak itu adalah jam. Diluar botol itu bertuliskan "Jangan senyum-senyum bacanya", kalimat itu berhasil membuatku tersenyum. Aku menarik surat itu dan membacanya. Dan, kamu berhasil membuatku tersenyum. Diakhiri dengan tulisan "I love you". Kalimat sederhana yang manis darimu yang sebenarnya jarang romantis.
Aku langsung mengambil ponselku, mencari namanmu dan menekan tombol telpon. Kamu mengangkat, "Hallo? Sudah dibuka?" Aku tersenyum, kamu tidak tahu. "Sudah" jawabku singkat. "Kalau kamu bacanya senyum-senyum, kamu harus traktir aku". Aku menjawab, "Aku traktir kamu". Aku tahu kamu sedang tersenyum menunjukkan gigi rapihmu. Aku bicara lagi, "I love you too". Kututup sambungan telpon itu. Dan melanjutkan via chat.
Dengan caramu yang sederhana, selalu berhasil membuatku bahagia. Ya, aku bahagia.
"Aku tidak suka minum obat", lalu kamu menjawab, "Ya iyalah, kamu kan sukanya sama aku". Entah makhluk apa yang merasukimu. Aku diam tak bergeming. Kamu bicara lagi, "Sudah sini turun dulu, keluar dari kamarmu. Kata Ibu kamu, kamu belum makan". Mataku terbelalak, tentu kamu tidak tahu. Aku terkejut karena ternyata kamu sudah dirumahku tanpa mengabari.
Aku langsung bergegas beranjak dari kasur, berlari kecil ke pintu, lalu membukanya dan bergegas menuruni tangga. Ada kamu, ya di sofa empuk itu, sendirian dengan secangkir teh hangat yang dibuat Ibuku, masih penuh, tentu kamu belum meminumnya, dan menunggu dingin. Aku membuka pembicaraan, "Mengapa tidak mengabari dulu?" Kamu melihat ke arahku dan tersenyum, "Kalau aku mengabari dulu berarti bukan kejutan namanya" katamu yang sumringah. "Apa tujuanmu kesini? Katanya kamu sibuk" kataku dengan sedikit ketus. Sebelum kamu menjawab, kamu mengambil sebuah kotak, entah apa isinya aku pun tidak tahu. Kotak itu berukuran sedang bersampul merah dengan pita emas, seperti sebuah kado. Kado? Ternyata kamu ingat hari ini. Tapi aku menepis pikiranku akan hal itu, terlalu percaya diri aku ini.
"Pasti kamu berpikir aku gak ingat hari ini kan? Karena aku sibuk seharian, bahkan semalaman." Aku diam tak bergeming. Kamu bertanya, "Kamu gak nanya aku sibuk ngapain gitu?" Aku tahu, kamu mulai mengajak bercanda. "Ya sudah aku tanya, emang kamu sibuk apa?" Kamu menatapku terlebih dahulu, "Aku menyiapkan ini untukmu". Aku diam, bingung. "Sampe segitunya?" Kamu menjawab, "Iya lah. Kamu gak kepo itu isinya apa? Eh tapi jangan sekarang bukanya, sekarang kamu makan dulu. Habis kamu makan, aku pulang. Nah, kalau aku pulang, baru deh kamu buka kadonya". Aku menurut saja.
Beberapa jam berlalu, sungguh hatiku penasaran. Aku membukanya perlahan. Kulihat sebuah botol berisi sepucuk surat dan sebuah kotak lagi. Kutebak itu adalah jam. Diluar botol itu bertuliskan "Jangan senyum-senyum bacanya", kalimat itu berhasil membuatku tersenyum. Aku menarik surat itu dan membacanya. Dan, kamu berhasil membuatku tersenyum. Diakhiri dengan tulisan "I love you". Kalimat sederhana yang manis darimu yang sebenarnya jarang romantis.
Aku langsung mengambil ponselku, mencari namanmu dan menekan tombol telpon. Kamu mengangkat, "Hallo? Sudah dibuka?" Aku tersenyum, kamu tidak tahu. "Sudah" jawabku singkat. "Kalau kamu bacanya senyum-senyum, kamu harus traktir aku". Aku menjawab, "Aku traktir kamu". Aku tahu kamu sedang tersenyum menunjukkan gigi rapihmu. Aku bicara lagi, "I love you too". Kututup sambungan telpon itu. Dan melanjutkan via chat.
Dengan caramu yang sederhana, selalu berhasil membuatku bahagia. Ya, aku bahagia.
Briin jadiin buku briin sweet ceritanya..ini awal kisahnya Rey ama ren ya?pensaran.. Keren bangeet 👍👍
BalasHapus