Sore ini aku menikmati hujan di dekat jendela kafe memandang laptop, dengan alunan musik jazz ditemani teh manis panas yang masih ada asapnya dan satu piring cheesecake. Disebelahku ada dua sejoli yang kutebak mereka baru saja berpacaran. Perempuan itu berkuncir kuda, mungil dan berkulit kuning langsat, sedangkan pasangannya berkulit sawo matang, berkumis tipis dan berambut klimis. Aku mencoba memfokuskan diri ke laptop, namun obrolan mereka terdengar begitu menarik.
Diawali dengan perempuan itu dengan bertanya, "Bagaimana suatu saat jika kamu kehilanganku?" lelaki itu yang kudengar berbicara dengan jeda yang cukup lama setelah pertanyaan itu dilontarkan. Dia berkata, "Aku tidak bisa hidup tanpamu, Gin." Aku terkekeh, sangat klasik alasan itu kudengar. Perempuan itu membalas, "Mantanku juga bilang begitu, ternyata mereka masih hidup sekarang. Ketika kutanya mengapa mereka masih hidup, mereka menjawab karena mereka masih bisa menghirup oksigen, menurutku alasan itu tidak bisa kuterima lagi". Perempuan itu yang bisa kutebak namanya adalah Gina menghela napas. Aku menoleh ke lelaki didepannya, kusebut dia Romeo, dia tampak frustasi. Dia menjawab lagi, "Ya sudah, kalau kamu meninggalkanku apa alasanmu?" Gina tampak berpikir apa alasan dia jika harus meninggalkan Romeo, "Kalau ada orang yang tiba-tiba melamarku atau tiba-tiba kamu selingkuh?" Romeo meneguk kopinya, "Kalau pria itu melamarmu dan kamu mau, aku bisa apa? Gin, semua orang bisa selingkuh, kamu juga bisa. Aku bisa saja berjanji kalau aku tidak akan selingkuh, tapi jika suatu saat aku melakukan hal itu aku akan berdosa. Aku tidak bisa menjanjikan hal itu". Ekspresi perempuan itu berubah murung, mungkin dia takut hal itu terjadi. Lelaki itu menanyakan hal yang sama, "Coba aku tanya balik ke kamu, gimana kalau kamu kehilangan aku?".
Gina menjawab dengan jeda waktu yang cukup lama, "Aku berpikir realistis, lebih baik kita gak usah memulai daripada harus merasakan kehilangan." Aku tertegun mendengar perempuan itu berbicara, nadanya tegas tanpa keraguan. Romeo bingung harus menanyakan apalagi, akhirnya dia buka suara "Kamu bukan realistis, tapi takut untuk memulai. Kalau gak dimulai, kamu gak tau aku bertahan atau meninggalkan, kamu gak tau kalau kamu akan kehilangan aku atau tidak. Coba pikir realistis lagi." Perempuan itu meneguk minumannya, "Okay, mungkin aku akan seperti perempuan lainnya yang mengunci kamar tujuh hari tujuh malam dengan tissue yang bertebaran dimana-mana, ketika keluar mataku sembab karena menangis sepanjang hari." Romeo tertawa terpingkal-pingkal sampai terbatuk-batuk. Gina hanya menatapnya dengan rasa kesal. Romeo mulai buka suara, "Tidak perlu berlebihan untuk merasakan kehilangan. Kamu boleh menikmati bahkan merasakan hal itu berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, tapi kamu gak boleh lupain hal yang harus kamu kejar. Merasa kehilangan itu wajar, tapi juga kamu harus bangkit segera, biar kamu tau seberapa kuat dirimu. Hari-hari yang kamu lewati hanya untuk merasakan kehilangan itu menunda mimpi-mimpi kamu." Romeo mengambil garpu dan membelah kue, namun terhenti karena handphone-nya berdering. Dia berlalu meninggalkan Gina sendirian. Aku berpikir itu hal yang sangat penting untuk dibicarakan.
Sekitar 10 menit, Romeo kembali ke tempatnya, "Maaf ya, tadi mama telepon". Gina hanya menangguk. "Aku mau ngelanjutin yang tadi, kayaknya omongan kamu itu enteng banget ya, tapi kalau dijalanin pasti susah". Romeo hanya tersenyum, "Kamu lagi-lagi udah pesimis dan takut buat mencoba. Kamu harus melatih diri kamu, mana perasaan mana logika. Dengan begitu, kamu akan tau kapan kamu pake perasaan kapan kamu pake logika kamu." Romeo begitu jelas dan tegas mengatakan hal demikian. "Tapi kan kalau perempuan pasti pake perasaan." Romeo menjawab, "Kamu harus jadi perempuan yang beda dari perempuan kebanyakan dong. Malah laki-laki suka sama perempuan yang kuat." Gina hanya memainkan minumannya, "Kamu terlalu sok tahu, kamu kan gak tahu isi hati mereka." Romeo terkekeh, "Ya sudah, pilihan kamu untuk terus terpuruk dalam rasa kehilangan itu atau bangkit menjadi dirimu yang kuat." Nada bicara Gina mulai menunjukkan kesedihan, "Tidak semudah itu, aku pasti bakal terpuruk dulu sebelum aku menjadi wanita kuat." Lelaki itu langsung menjawab, "Tapi jangan terlalu lama, terpuruk akan membuatmu semakin buruk."
Setelah lelaki itu berbicara fokusku sudah buyar dengan kedatangan seseorang yang sedari tadi kutunggu dan dia langsung duduk disampingku, "Kamu sudah menunggu lama? Aku terjebak macet." Aku menjawab dengan anggukan. Kulihat lelaki yang kunamakan Romeo itu berlalu melewati bangku yang kutempati, tanda obrolan mereka telah berakhir. Aku melihat Gina memegang sebuah kartu, kartu itu terlihat seperti undangan pernikahan, lalu aku melihat Gina yang menangis sesunggukan, bahunya bergerak naik-turun, kepalanya ditenggelamkan kedua lengannya dan menaruhnya diatas meja, tanda dia menangis. Entahlah, mungkin dia baru saja kehilangan Romeo-nya.
Komentar
Posting Komentar