Romantika

"Menurutmu cinta itu apa?", pertanyaan itu menusuk hati dan pikiranku. "Entahlah", ekspresi ragu dan nada bicaraku pelan. Kemudian kamu bertanya lagi, "Menurutmu terlalu sulitkah seseorang saat dia bilang cinta kepada orang lain?", aku hanya mengangguk pelan. Ekspresimu berubah murung. Aku tanya mengapa, kamu hanya menatapku sendu. "Aku ragu mengatakan cinta pada seseorang, padahal aku tahu orang itu pasti menyadarinya." Sesaat aku terdiam, aku bingung. Aku juga sulit mengatakan cinta kepada orang lain. "Mengapa kamu ragu?", kamu menatapku. Tatapan itu menjadi menyedihkan untuk dilihat, "Aku tidak tahu orang itu akan merasakan hal yang sama padaku atau tidak. Pasti kami akan saling bahagia jika merasakan hal yang sama, tapi jika tidak akan ada satu hati yang patah dan berakhir menyedihkan." Kamu menunduk.

"Itu hanya masalah keyakinan", aku menatapmu yang sedang mengenggam tanganmu membentuk kepalan. "Keyakinan apa yang kamu maksud?", aku menoleh ke arahmu dan menatapmu lamat-lamat. "Iya, keyakinan hatimu terhadap seorang itu. Jika kamu memperlakukannya dengan rasa sayangmu terhadapnya, dan dia membalas dengan hal yang sama, tunggu apalagi? Jika dia membalas dengan hal yang berbanding terbalik darimu, tinggalkan, apa yang kamu harapkan?" kamu diam. "Aku sudah yakin karena dia membalas hal yang sama kepadaku. Akan tetapi, aku takut ditolak" aku diam dan berpikir. "Kamu belum mencoba apapun, lalu kamu sudah takut akan ditolak? Jika kamu yakin, kamu tidak akan takut untuk ditolak. Dia akan melakukan hal yang sama jika dia tahu perasaanmu. Jika dia melakukan hal yang kamu lakukan sekarang, bahkan dia belum tahu perasaanmu yang sebenarnya, kemungkinan besar dia akan lebih berkorban untukmu jika kamu mengungkapkan itu." Kamu diam, tak bergeming.

"Kamu hanya gengsi". Kamu menengok kearahku, tatapanmu kini sedikit tajam. "Aku bukan tipe orang yang gengsi". Aku menghela napas, "Kalau kamu tau kamu punya perasaan dengan seseorang yang kamu sebut itu cinta, mengapa mesti ragu? Kalau kamu yakin dia juga punya perasaan yang sama kenapa mesti takut? Kamu itu gengsi karena kamu takut ditolak, kamu gak mencoba apa-apa udah mundur aja. Sebenarnya apa maumu? Satu pertanyaan untukmu. Apa kamu rela jika orang lain mengambil posisimu sekarang?", kamu diam sangat lama. "Aku tidak ingin siapapun mengganti posisiku, aku sudah cukup lama memendam, kalau harus digantikan orang lain apa gunanya aku selama ini." Aku terkekeh, "Kamu ini lucu ya, kamu tidak mau orang lain menggantikan posisimu sedangkan kamu terkesan menyia-nyiakan kesempatanmu." Kamu diam lagi karena merasa kalah dengan obrolan itu.

"Tapi dia juga nyaman dengan keadaan seperti ini." Aku berpikir, "Kenyamanan bisa diciptakan dalam hal apapun, pertemanan, hubungan, dan lain-lain. Akan tetapi, jangan jadikan kenyamanan itu sebagai alasanmu untuk tidak jujur dengan perasaanmu. Suatu saat dia lelah menunggumu, dia akan merasa tidak nyaman denganmu. Mengapa? Dia akan berpikir kamu tidak ada perasaan apapun terhadapnya, dia akan menganggap kamu hanya nyaman sebagai teman dan tidak merasakan nyaman karena ada perasaan. Menunggu tidak sebercanda itu, kamu harus paham itu. Jika suatu saat dia menuntut kejujuran perasaaanmu, dia tidak salah, itu wajar, kamu lah yang harus menyadari selama ini kamu tidak hanya berbohong padanya, tapi juga pada dirimu sendiri." Kamu seperti sibuk berpikir. "Lalu apa yang harus aku lakukan?" Entahlah pertanyaan itu serius atau tidak keluar dari mulutmu yang habis minum teh yang dingin karena kamu tidak suka teh yang panas atau hangat.

"Belajarlah jujur pada perasaan dan dirimu sendiri, kamu sadar dia menunggumu, tapi kamu selalu bersikap acuh seolah tidak ada apa-apa. Apa gunanya perasaanmu yang sangat dalam itu kalau kamu hanya memendamnya sendirian? Jangan menganggap orang lain bisa menebak isi hatimu, mereka bukan paranormal, bukan dukun. Mereka hanya manusia biasa, sama sepertimu. Kalau kamu bersikap seperti ini terus, kehilangan dan patah hati akan menjadi jalan terbaik untukmu." Kamu tertegun, seakan teh yang dingin itu membekukan paru-parumu sehingga membuatmu batuk. "Kamu sendiri bisa jujur dengan perasaanmu?" Aku mencerna pertanyaanmu. "Maksudmu?" 

"Kamu bilang kita harus jujur sama perasaan kita sendiri, lalu mengapa kamu sendiri tidak pernah jujur dengan perasaanmu terhadapku?" Aku tersedak, kue red velvet yang sudah setengah jam lalu diantar oleh pelayan itu seakan tertahan di kerongkonganku. "Aku adalah orang yang menunggu." 

Komentar